Selasa, 23 November 2010

BELAJAR BERMAKNA DAN BELAJAR TUNTAS

BAB I
PENDAHULUAN

Proses pembelajaran adalah merupakan suatu sistem. Dengan demikian, pencapaian standar proses untuk meningkatkan kualitas pendidikan (baca: proses pembelajaran) dapat dimulai dari menganalisis setiap komponen yang dapat membentuk dan mempengaruhi proses pembelajaran. Begitu banyak komponen yang dapat mempengaruhi kualitas pendidikan, namun demikian, tidak mungkin upaya meningkatkan kualitas dilakukan dengan memperbaiki setiap komponen secara serempak. Hal ini selain komponen-komponen itu keberadaannya terpencar, juga kita sulit menentukan kadar keterpengaruhan setiap komponen.
Komponen yang selama ini dianggap sangat mempengaruhi proses pendidikan adalah komponen guru. Hal ini memang wajar, sebab guru merupakan ujung tombak yang berhubungan langsung dengan siswa sebagai subjek dan objek belajar. Bagaimanapun bagus dan idealnya kurikulum pendidikan, bagaimanapun lengkapnya sarana dan prasarana pendidikan, tanpa diimbangi dengan kemampuan guru dalam mengimplementasikannya, maka semuanya akan kurang bermakna. Oleh sebab itu, untuk mencapai standar proses pendidikan, sebaiknya dimulai dengan menganalisis komponen guru, salah satunya dengan peningkatan profesional guru serta mengoptimalkan peran guru dalam proses pembelajaran.
Pembelajaran bukan hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran, akan tetapi suatu proses mengubah perilaku siswa sesuai dengan tujuan yang diharapkan Oleh sebab itu, dalam proses mengajar terdapat kegiatan membimbing siswa agar siswa berkembang sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya, melatih keterampilan intelektual maupun keterampilan motorik sehingga siswa dapat dan berani hidup di masyarakat yang cepat berubah dan penuh persaingan, memotivasi siswa agar mereka dapat memecahkan berbagai persoalan hidup dalam masyarakat yang penuh tantangan dan rintangan, membentuk siswa yang memiliki kemampuan inovatif dan kreatif, dan lain sebagainya



BAB II
PEMBAHASAN
BELAJAR BERMAKNA DAN BELAJAR TUNTAS

1. BELAJAR BERMAKNA
A. Teori Belajar Bermakna Ausubel
Ausubel (dalam Dahar, 1988:137) mengemukakan bahwa belajar dikatakan bermakna (meaningful) jika informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik sehingga peserta didik dapat mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Ausubel (dalam Dahar,1988 :142)
Menurut Ausubel, Novak,dan Hanesian ada dua jenis belajar:
1. Belajar bermakna (meaningful learning)
2. Belajar menghafal (rote learning)
Belajar bermakna adalah suatu proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar .Belajar bermakma terjadi bila pelajar mencoba menghubungkan fenomena baru dengan konsep yang telah ada sebelumnya .
Bila konsep yang cocok dengan fenomena baru itu belum ada maka informasi baru tersebut harus dipelajari secara menghafal. Belajar menghafal ini perlu bila seseoarang memperoleh informasi baru dalam dunia pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang ia ketahui sebelumnya
Menurut Ausubel belajar dapat diklasifikasikan kedalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran itu disajikan kepada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Selanjutnya dimensi kedua menyangkut bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Jika siswa hanya mencoba menghafalkan informasi baru itu tanpa menghubungkan dengan struktur kognitifnya, maka terjadilah belajar dengan hafalan.
Sebaliknya jika siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi baru itu dengan struktur kognitifnya maka yang terjadi adalah belajar bermakna.
Nasution 1982:158 menyimpulkan kondisi- kondisi belajar bermakna sebagai berikut :
1. Menjelaskan hubungan atau relevansi bahan- bahan baru dengan bahan- bahan lama.
2. Lebih dahulu diberikan ide yang paling umum dan kemudian hal- hal yang lebih terperinci.
3. Menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahan baru dengan bahan lama.
4. Mengusahakan agar ide yang telah ada dikuasai sepenuhnya sebelum ide yang baru disajikan.

Selanjutnya dikatakan suatu pembelajaran dikatakan bermakna jika memenuhi prasyarat, yaitu:
1. Materi yang akan dipelajari bermakna secara potensial.
Materi dikatakan bermakna secara potensial jika materi itu mempunyai kebermaknaan secara logis dan gagasan yang relevan harus terdapat dalm struktur kognitif siswa.
2. Anak yang akan belajar harus bertujuan melaksanakan belajar bermakna sehingga anak tersebut mempunyai kesiapan dan niat dalam belajar bermakna.

Langkah – langkah belajar bermakna Ausubel adalah :
1. Pengatur awal (advance organizer)
Pengatur awal dapat digunakan untuk membantu mengaitkan konsep yang lama dengan konsep yang baru yang lebih tinggi maknanya.
2. Diferensiasi Progregsif
Dalam pembelajaran bermakna perlu ada pengembangan dan kolaborasi konsep- konsep. Caranya unsur yang inklusif diperkenalkan terlebih dahulu kemudian baru lebih mendetail
Ausubel (Dahar ,1989 :141) ada tiga kebaikan dari belajar bermakna yaitu :
a. Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat,
b. Informasi yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip
c. Informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah belajar hal-hal yang mirip walaupun telah terjadi lupa.
B. Faktor-Faktor Utama Yang Mempengaruhi Belajar Bermakna
Klarifikasi belajar menurut Ausubel dan Robinsin 1969,
(1989: 111) Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna adalah struktur kognitif, stabilitas dan kejelasan pengetahuan di satu bidang studi tertentu pada waktu tertentu. Sifat-sifat kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti yang timbul saat informasi baru yang masuk kedalam struktur kognitif stabil, jelas, dan diatur dengan baik sehingga arti yang sahih dan jelas akan timbul dan cenderung bertahan
. Menurut Ausubel, belajar penerimaan tidak sama dengan belajar hapalan. Belajar penerimaan dapat dibuat bermakna, yaitu dengan cara menjelaskann hubungan antara konsep-konsep.
Struktur kognitif didefinisikan sebagai struktur organisasional yang ada dalam ingatan seseorang yang mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah ke dalam suatu unit konseptual. Struktur kognitif berisi konsep-konsep yang telah tersusun secara hierarki dan tetap berada dalam kesadaran siswa. Konsep yang paling inklusif terletak diatas lalu berangsur-angsur pada konsep yang spesifik sampai pada yang terakhir.
C. Persyaratan Belajar Bermakna
Menurut Winataputra (2008:3.22), beberapa syarat/strategi tersebut diantaranya yaitu :
 advance organizer,
 progresive differentiation,
 integrative reconciliation, dan
 consolidation.
Penggunaan advance organizers sebagai kerangka isi untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam mempelajari informasi baru, karena berupa kerangka dalam bentuk abstraksi atau ringkasan konsep–konsep dasar tentang apa yang dipelajari, dan hubungannya dengan materi yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Jika ditata dengan baik, advance organizers akan memudahkan siswa mempelajari materi pelajaran yang baru, serta hubungannya dengan meteri yang telah dipelajarinya.
Progresive differentiation menurut Ausubel adalah pengembangan konsep berlangsung paling baik bila dimulai dengan cara menjelaskan terlebih dahulu hal-hal umum terus sampai kepada hal-hal yang khusus dan rinci disertai dengan pemberian contoh-contoh.
Integrative rekonciliation menurut Ausubel guru menjelaskan dan menunjukkan secara jelas perbedaan dan persamaan materi yang baru dengan materi yang telah dijelaskan terlebih dahulu yang telah dikuasai siswa, dengan demikian siswa akan mengetahui alasan dan manfaat materi yang akan dijelaskan tersebut.
Consolidation menurut Ausubel guru memberikan pemantapan atas materi pelajaran yang telah diberikan untuk memudahkan siswa memahami dan mempelajari materi selanjutnya.
D. Penerapan Teori Dalam Pengajaran
Dalam menerapkan teori Ausubel dalam pembelajaran, guru dianjurkan untuk mengetahui terlebih dahulu kondisi awal siswa. Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa satu faktor sangat mempengaruhi belajar, yaitu pengetahuan yang telah diterima siswa. Pandangan Ausubel ini diharapkan menjadi kerangka berpikir dalam menenrapkan teori tersebut dalam belajar disamping memahami konsep dan prinsip-prinsip lain yang harus diperhatikan, yaitu adanya :
1. Adanya proses pengaturan awal, yaitu suatu langkah mengarahkan para siswa ke materi yang akan mereka pelajari.
2. Adanya proses diferensiasi progresif, yaitu mengembangkan konsep mulai dari unsur-unsur paling umum dan inklusif suatu konsep kemudian baru hal-hal yang detail dan khusus. Jadi, proses penyusunan konsep semacam ini disebut diferensiasi progresif (konsep-konsep disusun secara hierarkis)
3. Adanya proses belajar subordinate, yaitu suatu pengenalan konsep-konsep yang telah dipelajari sebagai unsur-unsur yang lebih luas
4. Adanya prose rekonsiliasi integrative, kadang-kadang siswa dihadapkan pada suatu kenyataan yang disebut pertentangan kognitif. Untuk mengatasinya, Ausubel menyarankan adanya penyesuain integratif atau rekonsiliasi integrative, yaitu bagaimana guru harus memperhatikan secara eksplisit arti-arti baru dibandingkan dan dipertentangkan dengan arti-arti sebelumnya yang lebih sempit dan bagaiman konsep-konsep yang ditingkatkanya
Dalam perkembangannya, belajar bermakna dapat diterapkan melalui berbagai cara pengajaran, misalnya pengajaran dengan menggunakan peta konsep.

2. BELAJAR TUNTAS
A. Pengertian belajar tuntas
Belajar tuntas adalah sebuah filsafat tentang kegiatan belajar siswa dan seperangkat teknik implementasi pembelajaran" (Burns, 1987). Sebagai filsafat, belajar tuntas memandang masing-masing siswa sebagai individu yang unik, yang berbeda antara satu dengan lainnya, yang mempunyai hak yang sama untuk mencapai keberhasilan belajar optimal. Block (1980 dalam Nasution, 1994:92) memandang bahwa individu itu pada dasarnya memang berbeda, namun setiap individu dapat mencapai taraf penguasaan penuh asalkan diberi waktu yang cukup untuk belajar sesuai dengan tingkat kecepatan belajar individualnya .
Jadi, yang membedakan satu individu dengan individu lainnya dalam belajar adalah waktu. Artinya, ada individu yang dapat menguasai sesuatu dengan penuh dalam waktu singkat dan ada yang memerlukan waktu lebih lama, namun pada akhirnya individu akan mencapai penguasaan penuh. Prinsip bahwa anak harus diberi kesempatan untuk belajar sesuai dengan kecepatannya sendiri merupakan prinsip menghargai kodrat individu.
Atas dasar konsep bahwa guru dapat membantu siswa belajar dengan lebih baik untuk mencapai keberhasilan optimal tersebut, belajar tuntas sebagai teknik implementasi pembelajaran dilaksanakan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi segmen-segmen belajar spesifik dan kemudian mengarahkan penguasaannya oleh setiap siswa. Belajar tuntas memberikan struktur untuk pengajaran yang mencakup pembelajaran kelas diikuti oleh kerja kelompok kecil.
Menurut Hierarchy of Needsdari Maslow (1962dalam Baum, 1990), ndividu harus merasa sebagai bagian dari kelompok dan dihargai agar dapat mencapai potensinya atau mengaktualisasikan dirinya. Guru seyogyanya menciptakan lingkungan yang mengasuh (nurturing environment), yaitu lingkungan yang memberi perhatian untuk mengembangkan potensi siswa dengan menghargai perbedaan-perbedaan individual. Hal tersebut menyiratkan bahwa siswa dapat belajar dengan baik apabila ditempatkan dalam kelompok yang kooperatif di mana satu siswa dengan siswa lainnya dapat saling mendukung dan mengandalkan.
Cimino (1980) memandang belajar tuntas sebagai suatu group-based approach (pendekatan kelompok) untuk mengindividualisasikan pembelajaran di mana siswa sering dapat belajar secara kooperatif dengan teman-teman sekelasnya . Belajar tuntas merupakan satu cara untuk mengindividualisasikan pembelajaran di dalam setting pembelajaran berkelompok tradisional. Model pembelajaran dengan pendekatan belajar tuntas menurut Cimino (1980) meliputi empat langkah:
1. mengajarkan unit pelajaran secara klasikal kemudian membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar;
2. memberikan tes untuk mengecek pencapaian belajar siswa pada akhir setiap unit belajar;
3. Melakukan asesmen untuk melihat penguasaan siswa terhadap keseluruhan mata pelajaran;
4. memberikan kegiatan pengayaan atau kegiatan korektif sesuai dengan kebutuhan siswa; dan
5. memberikan tes kedua untuk mengukur ketuntasan.

B. Landasan Dasar Teoritas dan beberapa Prinsip Belajar Tuntas
Pandangan tentang belajar tuntas bersumber dari penemuan carrol. Berdasarkan observasinya. Carrol menemukan dan merumuskan model belajar yang mengatakan bahwa bakat untuk bidang studi tertentu ditentukan oleh tingkat belajar siswa seperti yang disediakan atau waktu yang diperlukan siswa untuk mempelajari bidang studi pada tingkat tertentu.
Model Carrol selanjutnya mengemukakan bila setiap siswa disediakan waktu yang diperlukan dalam mencapai suatu tingkatan penguasaan dan ia menghabiskanya, maka kemungkinan besar ia akan mencapai tingkat penguasaan yang diperlukan. Bagaimanapun, seorang siswa jika tidak disediakan waktu yang cukup atau tidak menghabiskan waktu yang diperlukan, maka tingkat penguasaan belajarnya tergantung pada waktu yang ia perlukan untuk belajar
Jadi, apabila suatu strategi disusun, dimana waktu yang diperlukan dapat dpersingkat dan waktu yang secara riil digunakan dapat diperpanjang untuk setiap siswa, maka belajar tuntas sangat mungkin terjadi. Dalam hal ini, ada tiga faktor yang menentukan waktu yang diperlukan dalam belajar, yaitu :
 bakat mempelajari suatu tugas
 kemampuan siswa memahami pelajaran
 kualitas pengajar
Kemudian ada dua faktor yang menentukan waktu yang secara riil diperlukan dalam belajat, yaitu :
 Waktu yang tersedia atau kesempatan belajar
 Waktu yang dinginkan untuk mempelajri pelajaran atau dalam hal ini dinamakan “ketekunan dalam usaha”
Apabila usaha bertujuan memperbaiki kelima faktor tersebut, maka tingkat penguasaan belajar secara tuntas dapat dicapai. Jalaslah disini waktu yang sangat menentukan.
C. Implikasi (Penyimpulan) dalam Rangka Menyusun Strategi Umum Belajar Mengajar
Fuchs )1995) mendeskripsikan pelaksanaan belajar tuntas sebagai berikut :
1. Kurikulum dipecah-pecah menjadi satu rangkaian sub-keterampilan, dan mengurutkannya berdasarkan hierarki tujuan pembelajaran.
2. Untuk setiap tahap dalam hierarki pembelajaran tersebut, guru merancang tes acuan patokan (criterion-referenced test), dan menentukan kriteria kinerja yang mengindikasikan ketuntasan bagi setiap sub-keterampilan.
3. Mendahului kegiatan pembelajaran dengan melaksanakan pretest.
4. Guru memulai kegiatan pembelajaran dari tahap yang paling rendah dalam hierarki tersebut di atas untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan untuk setiap tahap hierarki.
5. Memberikan posttest mengenai materi pembelajaran.
6. Jika pada hasil posttest tersebut siswa tidak menunjukkan ketuntasan, maka guru menggunakan strategi-strategi korektif hingga ketuntasan dicapai.
7. Kemudian guru mengantar siswa ke tahap berikutnya dalam hierarki tersebut, yang merupakan tahap yang lebih sulit.
Untuk memahami rumusan di atas, secara singkat pokok-pokok strategi dapat dikatagorikan meliputi peranan guru, peranan siswa, kondisi belajasr, media pelajaran dan penilain

D. Strategi Belajar Tuntas
Berdasarkan Model of School Learning dari Carroll sebagaimana dikemukakan pada bagian terdahulu, Bloom merancang strategi belajar tuntas untuk dipergunakan dalam kelas di mana waktu yang disediakan untuk belajar relatif terikat. Mastery (ketuntasan belajar) didefinisikan berdasarkan seperangkat tujuan khusus utama (isi [content] dan perilaku kognitif) yang diharapkan diperlihatkan oleh para siswa pada saat tamatnya satu mata pelajaran (Block, 1971:7). Model belajar tuntas Bloom tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut .
1. Mata pelajaran dipecah-pecah ke dalam sejumlah unit belajar yang lebih kecil (misalnya pengajaran dua mingguan), dan tujuan setiap unit ditentukan, yang ketuntasannya sangat penting untuk menuntaskan tujuan utama.
2. Guru mengajarkan setiap unit menggunakan metode belajar kelompok tetapi dilengkapi dengan prosedur umpan balik/koreksi (feedback/correction procedures) sederhana untuk meyakinkan bahwa pengajaran pada setiap unit itu berkualitas optimal. Alat umpan balik itu berupa tes diagnostik singkat (formatif) yang diberikan pada akhir setiap unit. Setiap tes mencakup semua tujuan khusus unit sehingga dapat menunjukkan apa yang sudah atau belum dipelajari oleh masing-masing siswa dari kegiatan belajar kelompok pada unit itu.
3. Memberikan tes sumatif untuk mengecek ketuntasan belajar siswa bagi seluruh mata pelajaran.
4. Materi penghubung tambahan (supplementary instructional connectives) kemudian diberikan untuk membantu siswa mengatasi kesulitan belajar pada unit itu sebelum pengajaran kelompok dilanjutkan. (Block, 1971:7)

Pendekatan belajar tuntas ini memiliki keunggulan besar dalam tiga hal penting.
 Pertama, struktur unit belajar terdeskripsikan secara spesifik. Struktur unit belajar itu menetapkan secara spesifik elemen-elemen konstituennya (content baru yang harus dipelajari dan proses kognitif yang harus dipergunakan dalam empelajari content tersebut) serta hubungan timbal balik antara satu elemen dengan elemen lainnya. (Gagne, 1968; Bloom et al., 1956 dalam Block, 1971:8).
 Kedua, memuat alat umpan balik yang sangat baik berupa instrumen evaluasi yang disebut evaluasi formatif (Airasian, 1969 dalam Block, 1971:8). Evaluasi formatif tersebut dirancang untuk menjadi bagian yang integral dari proses belajar/mengajar dan untuk memberikan umpan balik berkelanjutan kepada guru maupun siswa mengenai keefektifan proses yang sedang berjalan. Informasi ini memungkinkan dilakukannya modifikasi yang terus-menerus terhadap proses agar setiap siswa dapat mencapai ketuntasan.
 Ketiga, strategi ini mempergunakan banyak jenis instrumen korektif instruksional (instructional correctives) untuk mengatasi kesulitan belajar siswa pada aspek-aspek tertentu dari unit belajar yang ditempuhnya.

Fungsi tunggal dari korektif adalah untuk memberi semua siswa rambu-rambu pembelajaran (instructional cues) dan/atau partisipasi aktif dan latihan dan/atau jumlah dan jenis penguatan yang dibutuhkannya untuk dapat menyelesaikan unit belajarnya secara tuntas. Untuk maksud tersebut, dipergunakan korektif berikut ini:
 Sesi belajar dalam kelompok kecil;
 Tutorial individual;
 Materi belajar alternatif seperti tambahan buku teks, buku latihan, metode audiovisual, dan permainan akademik yang relevan; dan
 Pengajaran ulang.

Sesi pembelajaran kelompok kecil dan tutorial individual menambahkan satu komponen personal-sosial pada kegiatan belajar siswa yang biasanya tidak ditemukan dalam pembelajaran kelompok besar. Buku latihan dan pembelajaran terprogram memberi siswa latihan (drill) yang mungkin diperlukannya.














BAB III
KESIMPULAN

Belajar bermakna adalah suatu proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar .Belajar bermakma terjadi bila pelajar mencoba menghubungkan fenomena baru dengan konsep yang telah ada sebelumnya
Belajar tuntas adalah sebuah filsafat tentang kegiatan belajar siswa dan seperangkat teknik implementasi pembelajaran" Sebagai filsafat, belajar tuntas memandang masing-masing siswa sebagai individu yang unik, yang berbeda antara satu dengan lainnya, yang mempunyai hak yang sama untuk mencapai keberhasilan belajar optimal. memandang bahwa individu itu pada dasarnya memang berbeda, namun setiap individu dapat mencapai taraf penguasaan penuh asalkan diberi waktu yang cukup untuk belajar sesuai dengan tingkat kecepatan belajar individualnya.
Jadi, yang membedakan satu individu dengan individu lainnya dalam belajar adalah waktu. Artinya, ada individu yang dapat menguasai sesuatu dengan penuh dalam waktu singkat dan ada yang memerlukan waktu lebih lama, namun pada akhirnya individu akan mencapai penguasaan penuh.














DAFTAR PUSTAKA

 Prof. Dr. Mulyati, M.Pd “Pengantar Psikologi Belajar” 2007. hlm 78-79
 Burns, Robert. (1987). Models of Instructional Organization: A Casebook on Mastery Learning and Outcome-Based Education. San Francisco: Far West Lab. for Educational Research and Development.
 Block, James h. (1971). Introduction to Mastery Learning: Theory and Practice. New York: Holt, Rinehart and Winston Inc.
 Cimino, Anita. (1980). Mastery Learning in Your Classroom. A Handbook for an Approach to an Alternative Learning Strategy. New York: New York City Teacher Centers Consortium.
 Fuchs, Lynn S. (1995) Connecting Performance Assessment to Instruction: A Comparison of Behavioral Assessment, Mastery Learning, urriculum-Based Measurement, and Performance Assessment. ERIC Digest E530. Available online: http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed381984.html
 Nasution, Noehi. (1994). MATERI POKOK PSIKOLOGI PENDIDIKAN (BUKU IV.8A). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
 Santrock, John W. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta:Kencana Prenada Media Group.
 Winataputra, Udin S. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:Universitas Terbuka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar