BAB I
PENDAHULUAN
Harga minyak dunia yang sempat
menembus US$ 147 per barrel yang menyebabkan harga pangan melejit tinggi dan
jatuhnya bank-bank raksasa di seluruh dunia menunjukkan terjadinya kebangkrutan
kredit global yang pada gilirannya bisa mengarah kepada terjadinya resesi
ekonomi. Agustus 2008 ini terulang kembali ledakan gelombang ekonomi di pasar
perusmahan AS sebagai akibat dari subprime mortgage yang terjadi tahun lalu.
Krisis ini terancam berakhir dengan depresi ekonomi yang mendunia. Depresi ini
diperkirakan akan menghentikan pertumbuhan kesejahteraan dan lapangan kerja
dalam perekonomian Barat selama kira-kira lebih dari satu dekade. Bangkrutnya
Northern Rock di Inggris, Bear Sterns di Amerika serikat (AS), menyebabkan kian
muramnya perekonomian dunia.
Bulan september 2008 adalah
bulan dimana perusahaan-perusahaan terbesar di dunia ambruk. Tanggal 7
September, perusahaan prekreditan rumah Fannie Mae dan Freddie Mac , yang
memberi garansi utang senilai 5,3 trilyun dolar, yang meliputi separuh lebih
dari utang perkreditan rumah di AS, pun ambruk. Pemerintah AS
akhirnya terpaksa menyelematkan dua perusahaan tersebut dengan menggelontorkan
uang dari kas pajak warga negaranya sebesar 200 bilyun dolar. Dua perusahaan
tersebut ambruk karena berani memberikan utang kepada orang-orang yang beresiko
tinggi dalam masa-masa kejayaan ekonomi. Disusul kemudian beria yang
menggemparkan dunia finansial adalah bangkrutnya salah satu Bank Investasi
terbesar di pusat keuangan Wall Street di New
York AS. Lehman
Brothers, salah satu perusahaan investasi bank AS terbesar memasukkan
permohonan status bangkrut pada tanggal 15 September 2008. Inilah akhir nasib
suatu bank besar dan tertua yang berdiri di negara bagian Alabama tahun 1844
dan jatuh begitu saja– padahal di tahun 2007 Lehman masih melaporkan jumlah
penjualan sebesar 57 bilyun dolar dan di bulan Maret lalu masih sempat
dinyatakan oleh majalah Business Week sebagai salah satu dari 50 perusahaan
papan atas di tahun 2008. Namun kini, Lehman bernilai tidak lebih dari cuma 2
bilyun dolar saja.
Perusahaan investasi lain
seperti Merril Lynch, yang bertahun-tahun sempat menjadi raksasa Wall Street,
pun mengemis untuk segera diambil alih oleh saingannya sendiri, yaitu Bank of America.
Dan AIG, salah satu perusahaan asuransi terbesar juga memohon untuk disuntikkan
dana darurat sebesar 40 bilyun dolar dari pemerintah AS untuk menghindari
kebangkrutan total. Rentetan peristiwa ini dirangkum oleh majalah Wall Street
Journal dengan kata-kata,” Sistem keuangan Amerika serikat terguncang hingga ke
pusarnya”. Alan Greenspan, mantan kepala Bank Sentral AS, menyebut krisis
keuangan dunia saat ini sebagai kejadian yang terjadi sekali dalam 100 tahun.
Bangkrutnya lehman brothers tercatat sebagai kebangkrutan terbesar dalam
sejarah korporasi AS. Perusahaan asuransi terbesar, AIG, juga di ambang ambruk.
Anatomi Krisis Keuangan
Global
Krisis yang terjadi di Amerika
serikat Serikat berakar pada besarnya gelembung kredit yang dikucurkan ke
perumahan. Harga rumah di Amerika serikat, rata-rata turun hampir 5 persen.
Banyak analis yang memprediksi bahwa harga akan turun lagi sebesar 10 persen,
di mana hal tersebut akan menyebabkan penurunan harga rumah secara kumulatif
dalam depresi ini. Bahkan di negara lain dampaknya bisa lebih buruk.
IMF memperhitungkan bahwa
kerugian di seluruh dunia pada hutang yang berasal dari Amerika serikat
(terutama yang berhubungan dengan mortgages) akan mencapai 1,4 triliun US
dolar, perhitungan ini meningkat dari perkiraan awal yang mencapai 945 miliar
US dolar pada bulan April 2008. Sejauh ini 760 miliar dolar telah dicatat oleh
bank, perusahaan asuransi, hedge fund dan lainnya yang memiliki hutang
tersebut.
Secara global, bank sendiri
telah dilaporkan mencapai kerugian sebesar 600 miliar US dolar dalam bentuk
kredit dan telah mengeluarkan 430 miliar US dolar dalam bentuk modal baru.
Bank-bank di Amerika serikat dan di Eropa akan mencucurkan dananya sebesar 10
triliun US dolar dalam bentuk aset, yang ekuivalen dengan 14,5 persen dari stok
kredit bank di tahun 2009.
Di Amerika serikat secara
keseluruhan pertumbuhan kredit akan melambat di bawah 1 persen, turun dari
rata-rata pertahun setelah masa perang yang mencapai 9 persen. Hal itu sendiri
dapat menurunkan pertumbuhan perekonomian negara-negara barat sebesar 1,5
persen. Tanpa tindakan maju dari pemerintah yang akan mencucurkan dana sebesar
700 miliar US dolar, perhitungan IMF menunjukan bahwa kredit akan turun sebesar
7,3 persen di Amerika serikat, 6,3 persen di Inggris, dan 4,5 persen di seluruh
eropa.
Sejumlah negara-negara kaya saat
ini mengalami resesi, sebagian karena kredit yang ketat dan sebagian lagi
karena melonjaknya harga minyak pada awal tahun ini. Pendapatan nasional di
Inggris, Perancis, Jerman, dan Jepang turun. Dengan melihat cepatnya para
pekerja yang kehilangan pekerjaannya dan lemahnya daya beli konsumen,
perekonomian Amerika serikat juga mengalami kemunduran.
Sejarah mengajarkan pelajaran
penting, bahwa krisis perbankan yang besar akhirnya diselesaikan dengan
menggunakan sejumlah besar uang publik, dan kemudian tindakan pemerintah yang
tegas, baik itu untuk merekapitalisasi bank atau mengambil alih kredit yang
bermasalah, dapat meminimalkan biaya kepada pembayar pajak dan dampak krisis
tersebut ke perekonomian. Contohnya, Swedia dengan cepat mengambil alih bank
yang bermasalah setelah terjadinya kegagalan properti di awal tahun 1990-an dan
pulih dengan cepat. Secara kontras, Jepang harus menempuh satu dekade untuk
pulih dari krisis keuangan dengan biaya pembayar pajaknya yang ekuivalen dengan
24 persen GDP nya.
Pemerintah Amerika Serikat telah
telah meletakkan 7 persen GDP nya pada garis batas, sejumlah uang yang sangat
banyak sebesar 16 persen GDP dimana rata-rata krisis perbankan yang sistemik
diselesaikan dengan biaya dari bantuan dana publik. Saat ini bagaimana Amerika
serikat mengusulkan bekerjanya Troubled Asset Relief Programme (TARP) masih
belum jelas. Departemen Keuangan Amerika Serikat berencana membeli sejumlah
besar utang yang bermasalah dengan menggunakan mekanisme lelang, di mana bank
menawarkan untuk menjual pada suatu harga tertentu dan pemerintah membeli dari
harga terendah sampai tertingi. Kompleksitas dari ribuan hipotek yang dijamin
dengan aset akan membuat hal ini menjadi sulit. Bila rekapitalisasi bank secara
langsung masih dibutuhkan, Departemen Keuangan dapat melakukan hal itu juga.
Hal yang utama adalah Amerika serikat harus bersiap-siap melakukan tindakan
tegas.
Untuk sementara waktu, hal
tersebut menawarkan alasan optimisme. Begitu juga dengan kekuatan dari emerging
market terbesar, terutama China.
Perekonomian negara ini tidak terpengaruh sebagaimana negara-negara lain
terlihat berjatuhan. Pasar saham mereka terjun dan banyak mata uang telah turun
tajam. Permintaan domestik di negara-negara emerging market melambat tetapi
tidak kolaps. IMF berharap perekonomian negara-negara emerging market, yang
dipimpin oleh China, untuk tetap tumbuh sebesar 6,9 persen pada 2008 dan 6,1
persen pada 2009. Hal itu akan menjadi bantal perekonomian dunia meski tidak
akan menyelamatkannya dari resesi.
Sumber: The Economist
Perangsang lain datang dari
terjunnya harga komoditas akhir-akhir ini, terutama minyak. Selama tahun
pertama krisis keuangan, boom yang terjadi dalam harga komoditas yang telah
terjadi selama lima
tahun menjadi hal sangat mengejutkan. Dari awal tahun sampai juli, harga minyak
naik hampir dua kali lipat. Indeks harga makanan melonjak sebesar 55 persen
(lihat Gambar 1). Kenaikan harga yang sangat besar ini mendorong kenaikan
indeks harga konsumen di dunia. Rata-rata headline inflation pada bulan Juli
telah melebihi 4 persen di negara-negara kaya dan hampir mencapai 9 persen di
emerging economies, jauh melebihi target bank sentral (lihat Gambar 2).
Sumber: The Economist
Inflasi yang tinggi dan terus
menerus melonjak bersamaan dengan lemahnya keuangan menyebabkan bank sentral
mengalami kebingungan dan menghadapi trade off yang berbahaya. Mereka dapat
mengetatkan kebijakan moneter untuk menghindari dari inflasi yang lebih tinggi
dan menjadi berurat akar (sebagaimana yang dilakukan ECB), atau mereka dapat
memotong suku bunga untuk membantali lemahnya sisi finansial (sebagaimana yang
dilakukan The Fed). Dilema tersebut sekarang berakhir. Hal tersebut terjadi
karena turunnya harga komoditas secara tajam, indeks harga konsumen yang sempat
mencapai puncaknya yang akan menimbulkan resiko inflasi telah mereda. Bila
harga minyak tetap pada level saat ini, indeks harga konsumen Amerika serikat
mungkin saja turun dibawah 1 persen pada pertengahan tahun ini. Kemudian
pembuat kebijakan akan mulai segera mengkhawatirkan adanya deflasi.
Masalahnya terletak pada
besarnya difisit neraca berjalan Amerika serikat yang bergantung pada
pembiayaan luar negeri. Amerika Serikat memiliki keuntungan bahwa mata uangnya
yakni dolar adalah mata uang cadangan devisa tiap negara, dan sebagaimana
kekacauan pasar finansial telah meluas, dolar akan menguat. Tetapi krisis kali
ini juga menguji banyak fondasi dimana orang asing loyal terhadap dasar dolar,
seperti jangkauan pemerintah yang terbatas dan pasar modal yang stabil. Bila
orang asing melarikan dolar, maka amerika serikat akan mengalami dua mimpi
buruk yang menghantui negara-negara emerging market dalam kehancuran pasar
keuangan: secara simultan terjadi krisis mata uang dan perbankan. Utang amerika
serikat, tidak seperti utang-utang negara emerging market, utang Amerika
Serikat didenominasikan dalam bentuk mata uangnya sendiri, yaitu dolar. Tetapi
kolapsnya dolar akan tetap menjadi sebuah bencana.
Apa yang akan menjadi efek jangka
panjang dari kekacauan pasar finansial ini terhadap ekonomi dunia? Memprediksi
konsekuensi dari krisis yang belum selesai adalah suatu yang bahaya. Tetapi
sudah jelas bahwa, bahkan dalam ketiadaan bencana, arah globalisasi akan
berubah. Dua dekade yang lalu pertumbuhan integrasi perekonomian dunia telah
bersama-sama dengan semakin berkembangnya pengetahuan dari anglo-saxon
kapitalisme pasar bebas, dengan amerika serikat sebagai cheerleadernya.
Pembebasan aliran perdagangan dan modal juga deregulasi industri domestik dan
keuangan telah menyebabkan pesatnya perkembangan globalisasi. Integrasi global,
dalam jumlah besar, telah menyebabkan kemenangan pasar atas pemerintah. Proses
ini sekarang berbalik menjadi 3 jalan yang berbeda.
Pertama, keuangan negara-negara
barat akan diregulasi. Pada tingkat minimalnya, wilayah yang paling bebas di
keuangan modern, seperti 55 triliun US dolar untuk derivasi kredit akan diatur.
Peraturan akan modal akan diperiksa secara seksama untuk menurunkan
solvabilitas dan meningkatkan daya rentang sistem. Overlaping dari pembuat
peraturan akan diatur kembali. Seberapa besar kontrol yang akan dikenakan akan
kurang bergantung kepada ideologi daripada parahnya penurunan ekonomi.
Yang kedua, keseimbangan antara
negara dan pasar berubah dalam wilayah selain keuangan. Untuk kebanyakan
negara, shock yang sangat penting dalam beberapa tahun yang lalu adalah naiknya
harga komoditi secara besar-besaran, dimana politisi juga disalahkan karena
adanya spekulasi keuangan. Naiknya harga makanan di akhir 2007 dan awal 2008
telah menyebabkan adanya pemberontakan di 30 negara. Untuk meresponsnya,
pemerintah di negara-negara emerging market memperluas jangkauannya, menaikan
subsidi, memperbaiki harga, melarang expor dari komoditas penting, bahkan pada kasus
india,
pemerintahnya melarang perdagangan future.
Ketiga, Amerika serikat
kehilangan pengaruh ekonomi dan wewenang intelektual. Sebagaimana negara-negera
yang perekonomiannya sedang tumbuh pesat membentuk arah dari perdagangan
global, sehingga mereka akan meningkatkan bentuk keuangan masa depan. Seperti China yang
merupakan negara kaya kapital dan mudah dalam memberi kredit. Deleveraging
dalam perekonomian barat akan sedikit tidak terlalu terasa bila savings di
negara-negara asia yang kaya dan negara pengekspor
minyak menyuntikan dananya.
Rentetan efek domino pun masih
berlanjut dengan hancurnya Washington Mutual (WaMu). WaMu ditutup setelah
nasabah menarik dana besar-besaran sejak 15 September lalu atau sejak Lehman
Brothers mengalami kebangkrutan. Penarikan dana mencapai 16,7 miliar dollar AS.
Bahkan, di eropa pun krisis keuangan AS mengimbas ke Amsterdam (Belanda) dan
Brussels (Belgia), di mana Fortis NV, jasa keuangan Belanda-Belgia, harus
menepis rumor. Bank Sentral Belanda telah memerintahkan bank pesaing Fortis
untuk mendukung pendanaan bank tersebut. Fortis, yang juga terjebak pinjaman
pada perumahan AS, mengalami penurunan harga saham 21 persen, terendah dalam 14
tahun terakhir.
Jatuhnya WaMu seakan menjadi
pembenaran bahwa krisis finansial ini semakin memburuk. Akibatnya, pasar saham
di Asia, Eropa, dan AS, anjlok lagi. Belum
jelasnya nasib rancangan penyelamatan yang diajukan oleh pemerintahan Bush juga
menambah suram pasar finansial di seluruh penjuru dunia. Krisis kepercayaan
telah merepotkan lembaga keuangan. Untuk mengatasi kekeringan likuiditas di
perbankan, bank-bank sentral di beberapa negara menambah pasokan likuiditas ke
sektor perbankan.
Langkah FED
Upaya penyelamatan sebesar
USD700 miliar semestinya menenangkan pasar. Ternyata jumlah tersebut
menimbulkan keraguan baru, yaitu dari sisi kesehatan keuangan Pemerintah AS.
Jumlah utang pemerintah telah melampaui USD10 triliun dan setiap harinya
bertambah USD2,6 miliar. Ini berarti bahwa rasio utang Pemerintah AS
terhadap produk domestik bruto (PDB) mereka yang mencapai USD14 triliun adalah
di atas 70 persen.
Dengan upaya penyelamatan
tersebut, batas atas utang pemerintah akan ditetapkan sebesar USD11,3 triliun.
Jika batas itu tercapai, maka rasio utang pemerintah terhadap PDB akan mencapai
sekitar 80 persen dan akan terus meningkat. Pada masa pemerintahan yang akan
datang, siapa pun presidennya, bukan tidak mungkin rasio utang meningkat
menjadi 100 persen.
Gagalnya penyuntikan dana oleh
FED pada konggres pertama disebabkan karena maraknya Credit Default Swaps
(CDS). CDS adalah surat
berharga yang memberikan jaminan bayar kepada seorang pemegang obligasi. Nilai
pasar CDS berkembang dua kali lipat dalam tiga tahun terakhir. Saat muncul pada
tahun 1995 nilai CDS baru US$ 144 miliar namun sekarang telah mencapai US$ 62,2
triliun. Setelah dihapuskannya peraturan mengenai CDS pada tahun 2000, potensi
kebangkrutan korporasi AS makin besar muncul diawal tahun 2005. Saat itu kredit
macet di sektor perumahan AS mulai bermunculan. Sejak keadaan ini dicium pasar,
produk-produk CDS makin marak diperdagangkan. Investor yang bisa membeli CDS
tidak lagi terbatas pada investor yang membeli obligasi asli.
Transaksi jual-beli CDS juga
dilakukan di bawah meja. CDS menjadi produk idaman spekulan. Misi CDS berubah
dari pengamanan obligasi gagal bayar menjadi sebuah instrumen peraup untung di
tengah gelombang kebangkrutan korporasi. Siapa pun pemegang CDS pasti untung
asalkan terjadi kebangkrutan korporasi penerbit surat utang.
Para
pemegang CDS terus menciptakan suasana yang menjatuhkan indeks, yang
mempercepat rentetan kebangkrutan perbankan. Menurut Dorsch, inilah yang
menjadi alasan utama di balik kejatuhan beruntun indeks saham AS dan global
karena peredaran CDS telah meluas ke berbagai negara
Dengan membandingkan masalah
yang dihadapi perekonomian Jepang beberapa tahun lalu, bukan tidak mungkin
masalah perekonomian di AS akan berkepanjangan. Saat sebelum terjadinya krisis,
rasio utang Pemerintah Jepang terhadap PDB mereka mencapai 50 persen. Dalam
hitungan 10 tahun, rasio tersebut telah meningkat dua kali lipat menjadi 100
persen di akhir 1999. Rasio terus meningkat sampai saat ini yang menimbulkan
beban besar bagi Pemerintah Jepang.
Imbas dari krisis lembaga
keuangan AS pertama-tama amat terasa di pasar modal sebagaimana ditunjukkan
oleh kemerosotan tajam IHSG. Kemerosotan IHSG ini diikuti pelemahan nilai
rupiah yang sudah menembus angka Rp 10.650 seiring penguatan dollar AS karena
investor mencari perlindungan, terutama di T bills (surat
berharga) Pemerintah AS. Pasar obligasi, baik pemerintah maupun
korporasi, juga tertekan menimbulkan kerugian besar pada perbankan dan
institusi pemegang obligasi lainnya karena penghitungan yang disesuaikan nilai
pasar saat itu (mark-to-market). Selanjutnya perbankan dihadapkan persoalan
ketatnya likuiditas, baik dollar AS maupun rupiah, yang mendorong peningkatan
suku bunga deposito yang tinggi. Bahkan, beberapa bank memberi bunga deposito
hingga 12-13 persen untuk jumlah tertentu. Untuk mengimbangi pertumbuhan kredit
yang amat tinggi, di atas 30 persen, bank amat membutuhkan dana dari masyarakat
yang pertumbuhannya tidak sepadan dengan pertumbuhan kredit itu.
Dalam menanggapi imbas dari
krisis ini, BI melakukan intervensi cukup besar untuk menjaga stabilitas nilai
rupiah. Pemerintah juga berusaha meyakinkan pasar keuangan dan pelaku ekonomi
umumnya bahwa perekonomian Indonesia
tidak terkait langsung dengan krisis di AS meski terkena imbasnya.
Kebijakan BI
Tingginya inflasi ini masih akan
berlangsung hingga paruh ke dua tahun 2009. BI menyikapi tingginya inflasi
dengan menaikkan suku bunga secara bertahap sebesar 25 basis point per bulan
yang kini pada tingkatan 9,5 persen. Dengan perkiraan inflasi pada tahun 2009
sekitar 6,5-7,5 persen tingkat BI Rate ini dianggap memadai.
Upaya untuk mengatasi ketatnya
likuiditas di satu sisi dan tingginya inflasi di sisi lain tampaknya saling
bertentangan. Untuk melawan inflasi dibutuhkan kebijakan uang ketat, sedangkan
untuk mengatasi persoalan ketatnya likuiditas di perbankan dibutuhkan aliran dana
ke dalam perekonomian. Tampaknya BI dan pemerintah berupaya melakukan kebijakan
bersifat hibrid, yaitu mengurangi tekanan likuiditas dengan berupaya
mengendalikan inflasi, paling tidak dalam enam bulan ke depan saat inflasi
masih tinggi. Hasilnya tentu tidak optimal, tetapi dalam situasi penuh
ketidakpastian, amat sulit menerapkan kebijakan optimal.
Saat ini, perbankan Indonesia
sedang dalam proses ekapansi dalam menyalurkan kredit. Kecenderungan ini akan
terus berlangsung karena LDR (rasio kredit terhadap deposito) meski mengalami
peningkatan besar, tetapi masih ada di bawah 80 persen.
Bandingkan dengan LDR Thailand
yang mendekati 100 persen dan Korea Selatan yang telah melampaui 100 persen.
Memang aliran kredit perbankan terbatas kredit investasi karena tingginya
risiko dan lebih besar pada kredit konsumsi dan modal kerja.
Bagi bank-bank papan atas,
mereka tampaknya enggan memanfaatkan fasilitas repo BI, terutama terkait
reputasi. Mereka tidak mau mendapatkan kesan kesulitan dana dengan memanfaatkan
fasilitas BI. Bank-bank itu cenderung mendapatkan dana dari masyarakat atau
pasar uang antarbank meski bunganya tinggi selama mereka dapat menyalurkan
kredit dengan marjin tertentu. Kemungkinan pertumbuhan kredit akan melambat
sesuai pertumbuhan dana pihak ketiga. Namun, kecenderungan pertumbuhan kredit
masih akan tetap tinggi karena perbankan dalam kondisi ekspansif.
Dari sisi kebijakan moneter dan
supervisi perbankan selain membuka akses lebih besar pada likuiditas,
kepercayaan antarlembaga keuangan khususnya antarbank harus tetap dijaga baik
guna mencegah persoalan credit crunch, seperti di AS dan Eropa. Dengan rasio
permodalan yang cukup baik dan tidak terkait masalah produk keuangan dari
lembaga keuangan yang gagal di AS, seharusnya perbankan di Indonesia masih
dapat berfungsi optimal meski menghadapi tekanan permasalahan likuiditas.
Dampak Kepada Sektor
Finansial
Krisis Keuangan ini juga
berdampak pada aktivitas pasar modal global. Perkembangan indeks bursa saham di
beberapa bursa dunia yang sebelumnya menunjukkan kinerja yang outperform
terkoreksi turun sampai dengan level yang tidak diperkirakan. Jika dibandingkan
dengan awal tahun 2008, Indeks bursa Shanghai
telah turun sebesar 64 persen, Kuala Lumpur Composite Index sebesar 34 persen.
Begitu juga dengan Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia per tanggal 16 September 2008
menyentuh level terendah 1.719,254, terkoreksi 39,3 persen dihitung dari level
IHSG tertinggi 9 Januari 2008 di level 2.830,260. Kerugian langsung mungkin
hanya dialami sebagian kecil investor yang memiliki eksposure atas aset-aset
yang terkait langsung dengan lembaga-lembaga keuangan AS yang bermasalah.
Dengan kondisi fundamental Indonesia saat
ini, sebenarnya tidak ada alasan bagi investor untuk melakukan rasionalisasi portofolionya.
Melemahnya IHSG akibat sentimen global krisis keuangan AS sebenarnya memberikan
hikmah positif karena tanpa kita sadari kinerja IHSG selama ini relatif
overvalued. Turunnya IHSG ke level saat ini lebih mewakili kondisi fundamental
yang sebenarnya (priced-in). Meski level IHSG saat ini belum dipastikan
merupakan level equilibrium baru, tetapi dengan kondisi fundamental yang
perform akan menahan aksi spekulasi yang mendorong IHSG terkoreksi lebih dalam.
Dengan tingkat likuiditas global
saat ini yang relatif masih sangat tinggi, diperkirakan tujuan investasi
investor akan ditujukan ke berbagai bursa-bursa emerging market yang dapat
memberikan potensi tingkat pengembalian/imbal hasil (expected return) yang
menarik bagi investor, tak terkecuali Indonesia. Inilah sebenarnya berkah
terselubung krisis keuangan AS untuk pasar modal Indonesia.
Tidak bisa kita mungkiri bahwa
investor pasar modal Indonesia
saat ini masih didominasi investor asing. Berdasarkan data dari Kustodian
Sentral Efek Indonesia (KSEI) per tanggal 31 Juli 2008 kepemilikan saham
investor Asing di Bursa Efek Indonesia sebesar 64 persen, sisanya 36 persen
adalah kepemilikan saham oleh investor lokal. Peran investor asing ini di satu
sisi membawa dampak positif meningkatkan likuiditas berupa aliran modal masuk
(capital inflow), tetapi di sisi yang lain merupakan ancaman instabilitas pasar
ketika investor asing ini keluar dan menarik modalnya (capital outflow) secara
masif dan tiba-tiba. Sampai saat ini di pasar modal Indonesia belum mengindikasikan
adanya capital outflow secara besar-besaran sebagai dampak dari krisis keuangan
AS.
Namun demikian, kita harus
mewaspadai kemungkinan terjadinya penarikan modal investor asing secara
besar-besaran. Ketidakpastian perekonomian global sebagai dampak dari krisis
keuangan AS masih dominan dan memberikan peluang terjadinya capital outflow
secara besar-besaran di pasar modal Indonesia.
Perekonomian Indonesia
Kini, perekonomian Indonesia dalam
kondisi rentan untuk tumbuh lebih tinggi. Ekspansi perekonomian tidak sepadan
dengan dukungan yang memadai dari akumulasi dana masyarakat. Sementara itu,
pertumbuhan ekonomi belum optimal, tetapi inflasi sudah tinggi karena tekanan
harga, apalagi dengan keadaan eksternal yang cepat memburuk. Dalam jangka
pendek, prioritas ada pada pengendalian inflasi dan stabilitas nilai rupiah
yang amat penting karena hal ini dapat menurunkan kepercayaan dengan cepat jika
tidak ditangani dengan baik. Saat kondisi eksternal tidak pasti, fokus
kebijakan di tingkat pemerintahan dan perusahaan adalah pada stabilitas dan
kepercayaan di dalam negeri. Prediksi Bank Indonesia mengenai pertumbuhan
ekonomi jangka menengah tampaknya akan terhambat akibat krisis finansial global
yang terjadi (lihat Gambar 4).
Negara negara di dunia saat ini
dihadapkan pada pilihan kebijakan ekonomi yang dilematis. Di satu sisi tekanan
inflasi meningkat namun disisi lain perekonomian dunia sedang melambat. Di AS
sendiri The FED dalam menghadapi resesi dan tekanan global adalah dengan
menurunkan tingkat suku bunga sampa 1,5%. Hingga pertengahan juli 2008 banyak
negara berupaya untuk menahan kenaikkan inflasi dengan menaikkan suku bunga.
Pola Aliran Foreign Direct
Investment (FDI) global mengalami pergeseran dimana peran negara berkembang
sebagai penerima aliran masuk FDI semakin meningkat. Pada periode 2001-2007,
total aliran FDI ke negara berkembang rata-rata telah mencaai 31.5% sementara
di negara maju turun ke tingkat 65% (lihat Gambar 5).
Meskipun secara umum kinerja
perekonomian telah membaik, namun sesungguhnya perekonomian domestik masih
dibayangi oeleh sejumlah masalah struktural yang berpotensi menghambat
akselerasi pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Perbaikan struktural memang
telah dilakukan, namun dalam skala dan kecepatan yang belum memadai untuk mengejar
ketinggalan yang ada. Sebagai akibatnya tingkat pertumbuhan capital belum
signifikan dan produktivitas tenaga kerja cenderung menurun. Kondisi buruknya
struktural ekonomi di Indonesia
menjadi salah satu penyebab kurang menariknya Indonesia di mata asing sehingga
FDI yang masuk masih sedikit. Meskipun sejak tahun 2002 FDI Indonesia terus
meningkat, namun apabila dibandingkan dengan Negara-negara di ASEAN posisi
Indonesia relative tertinggal (lihat Gambar 6).
Perkembangan Indikator
Ekonomi Nasional
Dari sisi permintaan pertumbuhan
ekonomi pasca krisis lebih di dorong permintaan domestik. Hal ini terlihat dari
rata-rata pertumbuhan pasca krisis 2001-2007 yang mencapai 5%, melebihi
rata-rata pertumbuhan ekspor netto yang mencapai 4%. Disisi lain, Gap antara permintaan
domestik dan ekspor netto pasca krisis jauh lebih kecil dibandingkan dengan
sebelum krisis (lihat Gambar 7).
Sumber: Laporan Bank Indonesia
(2008)
Bagaimana dengan Ekspor Indonesia? Dari
Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) menunjukkan bahwa prestasi ekspor
lebih di dominasi oleh peningkatan komoditas berbasis Alam (lihat Gambar 8).
Berdasarkan indeks RCA, karet dan batubara merupakan komoditas yang daya
saingnya mengalami peningkatan. Sementara tekstil, elektronik, dan produk kayu
mengalami penurunan daya saing. Kurang kuatnya kinerja komoditas berbasis
manufaktur ini tidak terlepas dari lemahnya dukungan kegiatan investasi setelah
krisis.
Sumber: Laporan Bank Indonesia (2008)
Dari sisi produksi, kontribusi
sektor sektor yang memiliki pangsa besar terhadap pertumbuhan PDB indonesia
cenderung terus mengalami penurunan. Pertumbuhan kedua sektor terbesar yaitu
pertanian dan industri pengolahan dalam periode 2001-2007 mengalami penurunan.
Dengan pangsa yang semakin mengecil serta pertumbuhan yang cenderung stagnan,
kontribusi sektor pertanian dan industri pengolahan pada pertumbuhan PDB
semakin menurun. Lemahnya kinerja sektor industri pengolahan, khususnya
industri pengolahan nonmigas, tidak dapat dilepaskan dari kondisi permintaan
domestik yang terus mengalami tekanan. Dengan karakteristik sektor industri
dimana orientasi dari industri-industri yang berskala besar lebih tertuju ke
pasar domestik, maka lemahnya permintaan masyarakat jelas akan mempengaruhi
kinerja sektor industri secara keseluruhan. Kinerja industri pengolahan
nonmigas (manufaktur) pascakrisis yang belum sepenuhnya membaik ini juga
tercermin dari nilai produksi maupun nilai tambah produksi yang dihasilkan oleh
keseluruhan industri, baik industri besar dan sedang, yang secara umum terlihat
masih dibawah kondisi prakrisis.
Sebaliknya perkembangan sektor
tersier khususnya perdagangan, pengangkutan dan jasa keuangan maupun non
keuangan semakin membaik, seperti tercermin dalam kontribusinya terhadap PDB
terus meningkat (lihat Gambar 9).
Sumber: Bank Indonesia (2008)
Dampak Krisis kepada Industri di
Indonesia
Semenjak SBY memimpin Indonesia baik
Kurs Rupiah maupun IHSG terlihat Stabil (lihat Gambar 10). Namun terjadinya
krisis financial global membuat pemerintah dan beberapa departemen di Indonesia
mengeluarkan beberapa langkah antisipasi. Kepanikan investor yang membuat
jatuhnya indeks saham sampai level 1400 membuat BEI dan pemerintah melakukan
suspensi atas aktivitas perdagangan di bursa.
Sumber: Diolah dari BI (2008)
Namun tampaknya intervensi yang
telah dilakukan pemerintah pun belum berhasil untuk menahan nilai kurs rupiah,
bahkan pada 10 oktober 2008 kemarin dolar sempat menembus Rp. 10.650,-.
Kebijakan BI untuk menaikkan suku bunga menjadi 9,5% ternyata belum mampu
menahan gejolak dan tekanan krisis. Terjadinya krisis ini mau tidak mau sangat
berpengaruh terhadap usaha bisnis yang ada di Indonesia yang berhubungan dengan
kegiatan investasi seperti pembiayaan, asuransi, bank, properti dan industri
yang terkait dengan ekspor.
Untuk bisnis pembiayaan sendiri,
keringnya likuiditas di pasar akan sangat menghambat industri multifinance
untuk mengembangkan pembiayaannya sehingga pertumbuhan sampai akhir tahun ini
diprediksi 10-20%. industri pembiayaan yang mencakup consumer finance, leasing,
dan anjak piutang mayoritas mengandalkan sumber dana dari pinjaman bank dan
sebagian kecil dari pinjaman langsung lainnya dalam negeri dan asing. Sulitnya
mendapatkan funding dari bank dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan kredit baru yang memiliki beban suku bunga pembiayaan lebih tinggi
menyesuaikan dengan naiknya biaya dana. Tingginya suku bunga yang ditetapkan BI
dikhawatirkan akan menurunkan kualitas pembiayaan, yakni potensi naiknya
pembiayaan macet menjadi lebih besar meski kucuran pembiayaan dilakukan dengan
sangat hati-hati. Kerena itu para pelaku bisnis di pembiayaan ini harus mencari
sumber dana lain. Jika melalui bank local sulit mendapatkan dana, maka segera
ekspansi untuk menggaet mitra bank asing yang memiliki likuiditas yang tinggi.
Pemerintah harusnya juga menciptakan iklim yang kondusif untuk bisnis
pembiayaan ini, misalnya dengan membuka kesempatan kepada multifinance mendapat
dana dari industri asuransi atau dana pensiun sehingga tak hanya mengandalkan
dana dari bank ataupun obligasi. Di samping itu, perlu juga dibuat aturan
mengenai kepemilikan asing dalam lembaga pembiayaan.
Sama halnya dengan industri
asuransi, jatuhnya saham domestik ini berpotensi negetif terhadap pemegang
polis asuransi unit link. Walaupun untungnya, unit link menempatkan dananya di
saham masih sedikit apabila dibandingkan dengan fix income, namun saat ini
perusahaan asuransi harus mulai untuk melihat potensi atau peluang investasi di
sektor riil. Memang investasi di sektor ini membuat asset kurang liquid, akan
tetapi dalam jangka panjang, investasi sektor riil yang dikelola secara hati
hati akan menjadi salah satu alternatif pendapatan yang menjanjikan untuk
industri asuransi.
Begitu juga dengan industri yang
mengekspor barang hasil produksinya. Amerika serikat Serikat adalah negara
tujuan ekspor terbesar Indonesia
setelah Jepang yang menyerap 12, 5 persen dari total nilai ekspor. Pada Januari-Agustus 2008, AS menyerap
8,5 milliar dollar AS atau 11, 58 persen dari total nilai ekspor nonmigas indonesia yang
mencapai 73,54 milliar dolar AS. Penyerapan pasar AS bukan saja penting karena
besarnya pangsa pasar negara tersebut. Komposisi produk ekspor indonesia ke AS
juga bernilai penting karena ditopang oleh industri manufaktur dan pertanian
yang menjadi gantungan hajat hidup rakyat banyak.
Selama ini sekitar 43 persen
dari total ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) indonesia diserap AS. Hampir 60%
dari total ekspor alas kaki indonesia
juga dipesan pemegang merek dari AS. Mereka juga menyerap 37 persen ekspor
produk perikanan di Indonesia.
Padahal TPT dan alas kaki adalah gambaran dari subsektor yang paling diandalkan
untuk menyerap tenaga kerja. Sementara di sektor pertanian, kinerja ekspor
lebih banyak ditopang produk ikan dan udang daripada hasil budidaya tanaman
pangan.
Menanggapi Berbagai gejolak
eksternal tersebut jelas merupakan tantangan bagi Indonesia. Miranda S.Goeltom, saat
dikukuhkan sebagai Guru Besar FEUI, mengatakan bahwa indahnya koordinasi
kebijakan moneter dan fiskal akan sangat tampak ketika ekonomi Indonesia
menghadapi ketidakpastian dan gejolak eksternal, seperti lonjakan harga minyak
ataupun nilai tukar. Ia menawarkan model koordinasi “Leader-follower”. Artinya
koordinasi harus mengacu kepada urutan (sequence) tindakan kebijakan, di mana
salah satu otoritas harus melahirkan kebijakan terlebih dulu berdasarkan
tantangan lingkungan eksternal, baru direspon oleh otoritas kebijakan lainnya.
Ketika terjadi lonjakan harga minyak, otoritas fiskal perlu mengubah kebijakan
pengeluaran pemerintah dengan segera, sedang otoritas moneter perlu menjadi
follower dengan melakukan kebijakan moneter yang seharusnya tidak mengganggu
stabilitas makroekonomi. Sebaliknya, di tengah gejolak kurs, otoritas moneter
perlu menjadi leader dengan membuat berbagai upaya dalam melaklukan intervensi
langsung di pasar valas dan obligasi; sedang otoritas fiskal menjadi follower,
dengan mempersiapkan Jaring Pengaman dan mengurangi dampak lanjutan dari resiko
sistemik di sektor finansial. Hanya saja, sekarang ini dibutuhkan tidak hanya
policy mix makro, namun koordinasi kebijakan pada lingkungan metaekonomi.
Lingkungan meta ini mencakup antisipasi terhadap natural disruption, sektoral,
dan daerah. Mengintegrasikan kebijakan pertanian, industri, dan energi
nasional, sehingga tercipta suatu sinergi dalam mengoptimalkan segala potensi
yang kita miliki, guna menjamin terwujudnya food and energy security.
Koordinasi lintas sektor dan
daerah amat dibutuhkan karena pola perencanaan Indonesia bersifat sektoral dan
melibatkan 485 kabupaten/kota serta 33 provinsi. Apalagi akan diadakan pilkada
di 15 provinsi dan 85 kabupaten/kota pada tahun ini. Ibarat lagu, lagu yang
dimainkan berbagai macam. Ada
keroncong, rock, jazz, gamelan, dan dangdut, dengan pemain dan penonton yang
berbeda karakter dan perilaku. Inilah pentingnya “sang pemimpin” menjadi
dirigen suatu orkestra kebijakan makro, sektoral, dan daerah.
Bagaimana langkah awal untuk
mengantisipasi kondisi ini? Pertama, meningkatkan kinerja sektor riil sebagai
penunjang fundamental ekonomi. Harus kita akui bahwa kinerja fundamental
perekonomian kita beberapa tahun belakangan ini bukanlah disebabkan oleh
peningkatan sektor riil, seperti peningkatan daya saing, kenaikan
produktivitas, dan investasi sektor riil, tetapi lebih disebabkan pengaruh
fluktuasi harga komoditas dan kinerja sektor keuangan. Sementara itu jika kita
telaah lebih lanjut, tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia
semakin meningkat, tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi (paradox of
growth). Ini menandakan fundamental perekonomian kita artifisial dan semu.
Fundamental perekonomian yang rapuh menciptakan ekspektasi negatif buat
investor karena mencerminkan kondisi ketidakpastian.
Menjelang Pemilu 2009 tentunya
meningkatkan eskalasi dan dinamika politik di Indonesia. Stabilnya politik dan
keamanan menjadi pertimbangan utama investor dalam melakukan alokasi dan
distribusi portofolionya. Apabila stabilitas polkam menjelang pemilu
terkendali, lalu hasil pelaksanaan pemilu menghasilkan pemimpin-pemimpin yang
dapat diterima oleh pasar, akhirnya meningkatkan kepercayaan dan kredibilitas
pasar modal Indonesia.
Ketiga, regulasi yang market
friendly. Pihak regulator harus selalu menciptakan kebijakan yang market
friendly terhadap pasar, yaitu kebijakan yang dapat mengakomodasi keuntungan
investor dengan tidak mengesampingkan kepentingan investor minoritas. Regulasi
yang market friendly akan memberikan kenyamanan bagi investor untuk
berinvestasi dengan horizon waktu jangka panjang. Investor melakukan investasi
dasarnya adalah ekspektasi atas tingkat keuntungan/pengembalian dan tingkat
risiko investasi. Dengan struktur perekonomian yang kuat, keamanan berinvestasi
dan regulasi yang market friendly akan meningkatkan ekspektasi investor pada
pasar modal Indonesia.
Momentum krisis keuangan AS ini
merupakan kesempatan untuk mengubah persepsi pasar modal Indonesia sebagai
pasar modal dengan karakter high risk high return menjadi karakter pasar modal
yang dapat memberikan harapan tingkat keuntungan (expected return) yang optimal
dengan tingkat risiko investasi yang minimum sehingga bisa menarik modal masuk.
Sejumlah pakar ekonom mengatakan
bahwa di Indonesia
krisis hanya terjadi di pasar modal. Krisis yang terjadi di pasar modal dinilai
tidak akan mudah bertransmisi ke sektor lain mengingat kontribusi pasar modal
dalam sistem keuangan Indonesia
amat kecil karena bursa di Indonesia
hanya membawa pengaruh 20% dari ekonomi Indonesia. Selain itu krisis pasar
modal seperti ini tidak akan kembali mengulang seperti krisis pada tahun 1997
karena depresisasi rupiah padah tahun itu adalah 100% dengan inflasi 20% NPL
perbankan 60% dan SBI 50%. Gejolak ekonomi yang terjadi saat ini hanya
mendepresiasi rupiah sebesar 5%, inflasi 12,14% NPL perbankan 1% dan SBI 9,5%.
Namun Gejolak ini akan membawa
kepada krisis atau tidak, kita harus selalu percaya bahwa krisis adalah peluang
untuk memasuki era baru yang lebih baik. Semoga dunia bisa keluar dari krisis
ini dengan situasi yang lebih baik. Dan semoga ekonom pemerintah Indonesia sudah pasang kuda-kuda melindungi
ekonomi indonesia
dari krisis ini. Kalau tidak, siap-siap tabungan kita semua di bank, hasil
keringat kita bertahun-tahun, hilang dan menguap dalam krisis. Kita menjadi
korban sistem ekonomi yang mengandalkan financial engineering bukan sistem yang
berbasis sektor riil dan entrepreneurial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar